Sumbar | Sungguh, saya terharu sekaligus bangga sekali manakala Laksamana Pertama TNI Hargianto meminta saya menulis sepenggal kata sambutan untuk buku otobiografinya ini. Terharu, karena caranya meminta sopan sekali dan sangat terasa menghargai seniornya, yang kebetulan pernah menjadi atasannya di era 2000-an, atau sekitar dua dekade silam. Bangga, karena Hargianto merupakan satu dari sedikit prajurit AL yang berhasil meraih karir serta prestasi cukup membanggakan, dan menuangkan pengalamannya dalam bentuk buku otobiografi.
Saya mulai berinteraksi cukup dekat dengan Hargianto ketika saya menjabat Panglima Komando Utama (Pangkotama) TNI AL Armada Kawasan Barat (Juli 2002-Maret 2003). Waktu itu Hargianto menjabat sebagai Komandan KRI Silas Papare dengan pangkat Letnan Kolonel.
KRI Silas Papare merupakan salah satu dari enam Kapal Perang RI jenis korvet kelas Parchim yang dimiliki Armada Kawasan Barat waktu itu. Dari beberapa kali interaksi itu, saya langsung mahfum bahwa perwira pelaut satu ini sangat tangkas, disiplin, dan mumpuni di bidangnya. Dia juga sangat berwibawa, disegani dan disayangi anak buahnya.
Semua penugasan yang diberikan kepadanya selalu dijalankannya dengan penuh semangat dan sukses. Misalnya, dalam penugasan latihan tempur “Operasi Amfibi” di perairan Sorong, Jayapura. Letkol Laut (P) Hargianto dengan KRI Silas Papare-nya bersama dengan lima KRI lainnya, membuat atraksi memukau Formasi 1 yang merupakan manuver penghormatan, dengan melintas di samping kapal VIP di mana di situ ada Bapak KSAL Laksamana Bernard Kent Sondakh, para Panglima Komando, serta sejumlah anggota DPR RI. Dengan kecepatan tinggi dan diterpa gelombang setinggi hampir empat meter, manuver penghormatan itu berhasil dengan elok dan mendapat applause bergemuruh.
Dari Sorong, KRI Silas Papare bersama dua KRI lainnya, yaitu KRI Teuku Umar dan KRI Sultan Thaha Syaifuddin, langsung bertolak menuju ke perairan Andaman, Nicobar, India, guna melaksanakan penugasan selanjutnya, yaitu mengikuti Latihan Bersama “Multilateral Exercise Milan 18”. Letkol Laut (P) Hargianto dengan KRI Silas Papare sukses mengikuti latihan bersama itu dengan bertindak sebagai pemimpin delegasi dari Indonesia.
Usai mengikuti latihan bersama di Nicobar, penugasan selanjutnya telah menanti. Yakni perjalanan muhibah ke perairan Malaysia dan Thailand. KRI Silas Papare bersama KRI Teuku Umar dan KRI Sultan Thaha Syaifuddin kebagian ke Thailand, namun karena pertimbangan politis akhirnya diarahkan ke Kuching, Malaysia.
Sedangkan tiga KRI lainnya bertolak menuju Port Klang, Malaysia.Meski dibebani penugasan bertubi-tubi dengan jarak tempuh layar yang jauh, Hargianto tidak pernah merasa capek, apalagi mengeluh. Malah dia selalu mengatakan justru sangat bangga dan berterimakasih sekali mendapat kepercayaan dari Panglimanya untuk melaksanakan penugasan-penugasan penting dan bergengsi. Ini yang membuat saya sangat bangga kepada Hargianto.
Hal lain yang juga membuat saya bangga dan terkesan adalah sifatnya yang resik dan berpikiran maju, serta sangat memperhatikan kepentingan anak buah. Hal ini tercermin dari setiap kunjungan saya ke kapalnya. Memang, merupakan kebiasaan saya selalu mengunjungi para komandan kapal di kapalnya.
Nah, di KRI Silas Papare saya selalu melihat kondisi kapal dalam keadaan prima, bersih, dan terawat dengan baik. Tak pernah ada trouble di tengah laut, tak pernah pula ada pelanggaran yang dilakukan anak buahnya. Padahal KRI Silas Papare paling jauh berlayar, paling aktif berpatroli, serta paling banyak berkontribusi dalam hal menangkapi kapal nelayan asing yang mencuri ikan di perairan kawasan barat.
Di KRI Silas Papare saya juga sempat kaget mendapati siaran televisi luar negeri, seperti CNN, yang kala itu merupakan “barang langka” di KRI. Rupanya hal itu atas inisiatif dan kecerdikan Hargianto, dengan cara mengubah salah satu bagian antena kapal yang tidak berfungsi, sehingga mampu menangkap siaran berita televisi luar negeri. Tak mengherankan jika Hargianto dan anak buahnya kala itu selalu update akan informasi perkembangan dunia.
Mencermati semangat, kecerdasan dan karakternya yang selalu berpikiran maju, waktu itu saya sudah memprediksi bahwa Hargianto akan berhasil meniti karirnya sebagai prajurit AL yang cukup membanggakan. Alhamdulillah, dia berhasil meraih bintang, dengan jabatan Komandan Pangkalan Utama AL II Padang.
Selain berprestasi di bidang tugas pokoknya, dia juga mengukir prestasi di bidang sosial. Seperti, membangun Kampung Bahari di kawasan Sungai Pisang, Padang, secara mandiri. Di sini, para nelayan dibina dalam hal budidaya ikan kerapu, sedangkan para isteri nelayan diajari untuk menenun kain tradisional Minang.
Hasil kreasi para istri nelayan ini mengisi satu kegiatan pameran yang dibuka oleh isteri Panglima TNI, Nanik Istumawati Hadi Tjahjanto.
Putra asli Minang ini juga berhasil menggagas dan melaksanakan acara Merandang Basamo atau memasak rendang bersama. Acara memasak masakan khas minang yang melibatkan masyarakat Minang secara luas dan dibuka Ibu Negara Iriana Joko Widodo ini meraih penghargaan MURI sebagai peristiwa memasak rendang secara massal terbanyak.
Hargianto juga sangat agamis, dan memperhatikan syiar Islam. Bersama dengan mantan Wali Kota Padang Fauzi Bahar, Hargianto melibatkan saya dan para sesepuh AL untuk turut menggagas dan melaksanakan pembangunan Masjid Nurul Bahri di Kompleks Kodamar Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Alhamdulillah, masjid itu telah diresmikan pada 2016 silam dan berfungsi dengan baik hingga kini. Dari semua capaian-capaiannya tadi, saya merasa sudah sepantasnya Hargianto menuangkan semua pengalamannya yang membanggakan itu ke dalam buku otobiografi. Karena itu, saya menyambut baik otobiografi yang diberinya judul “Stokar Oplet Jadi Komandan Kapal Perang” ini.
Dari judulnya, kentara sekali Hargianto tidak mau melupakan masa remajanya yang pernah menjadi kernet oplet. Menurut saya, hal ini justru bagus guna menginspirasi generasi muda bahwa status ekonomi yang kurang berpunya bukanlah menjadi halangan untuk meraih cita-cita besar.
(Rel)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar